PERMUKIMAN TRADISIONAL DAN KESEHATANNYA

Gambar: Ilustrasi pemukiman tradisional


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Permukiman merupakan wujud dari ide pikiran manusia dan dirancang semata- mata untuk memudahkan dan mendukung setiap  kegiatan atau aktifitas yang akan  dilakukannya. Permukiman merupakan gambaran dari hidup secara keseluruhan,    sedangkan rumah adalah bagian dalam kehidupan pribadi. Pada bagian lain dinyatakan  bahwa rumah adalah gambaran untuk hidup secara keseluruhan, sedangkan permukiman  sebagai jaringan pengikat dari rumah tersebut. Oleh karena itu, permukiman merupakan  serangkaian hubungan antara benda dengan benda, benda dengan manusia, dan manusia  dengan manusia. Hubungan ini memiliki suatu pola dan struktur yang terpadu (Rapoport  dalam Sudirman Is, 1994).
Dalam permukiman tradisional, dapat dijumpai pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut diatas memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau permukiman tradisional. (Valentina Syahmusir dalam Kiki Ekiawan.  Hal : 239)
Sedangkan untuk Permukiman lama di Sumatera Selatan umumnya berupa rumah kayu dengan berbagai tipe. Lokasi permukiman rumah kayu tersebut terletak di tepi sungai dataran rendah, dataran tinggi maupun di badan sungai Rumah tradisional dari kayu pada umumnya dapat dibongkar dan dipasang ditempat lain dengan relatif mudah. Konstruksi yang dipakai dapat diklasifikasikan sebagai sistem koncian (interlocking system) yang berupa takik, tekan, tumpu, kait dan tarik.
Menurut Siregar dan Abu (1985), di daerah Sumatera Selatan dikenal rumah adat Palembang dan rumah adat Pasemah. Rumah adat Palembang adalah rumah Limas dan rumah adat Pasemah mempunyai ciri seperti Rumah Ulu dengan beberapa perbedaan.  Selanjutnya Sumintardja (1978) menyebutkan tentang rumah adat Palembang, rumah Pasemah, dan rumah Rakit di sungai. Berbagai tipe rumah tradisional tersebut mempunyai persamaan yaitu penggunaan struktur kayu secara tradisional tanpa paku sehingga dapat dibongkar pasang secara mudah. (Ari Siswanto dalam La Ode Rangga. N)
Berbeda pula dengan bentuk arsitektur rumah tinggal di lingkungan benteng kraton Buton yang  berbentuk arsitektur rumah panggung. Pembangunan rumah tinggal tradisonal Buton dengan segala bentuk  dan ornamennya diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang, serta masih tetap bertahan sebagai bangunan fungsional masa kini. Komunitas suku Buton mengenal tingkatan sosial dalam masyarakat yaitu golongan Kaomu (bangsawan) dan golongan Walaka (masyarakat biasa) berada di dalam kawasan benteng kraton dan golongan papara berada di luar benteng kraton (Kadir, 2000). Masyarakat Buton memberikan sebutan rumah Kaomu adalah  Kamali atau  banua tada kambero sedang rumah aparat kesultanan hanya disebut banua tada kambero bukan kamali. (Ishak Kadir dalam Arsy Surahman. Hal : 300).
Arsitektur rumah tradisional Kudus merupakan salah satu fariasi rumah tradisional Jawa yang pernah berkembang pesat pada masa kejayaan perekonomian masyarakat kudus lama. Saat ini kondisi rumah adat ini sangat memprihatinkan. Ratusan rumah adat yang lain telah dijual ke berbagai kota dan negara karena bagi waris. Rumah adat Kudus dibuat dari kayu dengan konstruksi knock down sehingga memungkinkan dibongkar pasang dan dipindah ke tempat lain tanpa merusak fisik bangunannya. (Agung budi sardjono dalam Rudi firmansyah).

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini ialah sebagai berikut :
1.      Bagaimana karakteristik bangunan permukiman tradisional Toraja, Kudus, Boton dan Sumatera Selatan ?
2.      Bagaimana hubungan antara aspek kesehatan dan pola tata ruang permukiman tradisional ?
C.    Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini ialah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui karakteristik bangunan permukiman tradisonal Toraja, Kudus, Buton dan Sumatera Selatan.
2.      Untuk mengetahui hubungan antara kesehatan dan pola tata ruang permukiman tradisional.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Hasil dan Pembahasan
Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah (Sasongko 2005).
Menurut Sasongko (2005), bahwa struktur ruang permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi. Dalam arsitektur Sasak, bangunan tradisionalnya juga memiliki bagian dan fungsinya tersendiri. Menurut Saptaningtyas (2006:14) faktor yang dinilai sangat penting dalam perencanaan dan pembangunan arsitektur tradisional Sasak adalah skala dan ukuran bangunan yang diperhitungkan dengan sangat teliti. Selain skala, ketepatan jumlah hitungan dari ukuran masing-masing unit rumah juga menjadi perhatian utama, karena dipercaya ada pengaruhnya terhadap kehidupan penghuninya yang menyangkut keselamatan, kabahagiaan, kemujuran, rejeki dan lain sebagainya.
Bahkan menurut Habraken dalam Fauzia (2006:32), ditegaskan bahwa sebagai suatu produk komunitas, bentuk lingkungan permukiman merupakan hasil kesepakatan sosial, bukan merupakan produk orang per orang. Artinya komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri permukiman yang berbeda pula. Perbedaan inilah yang memberikan keunikan tersendiri pada bangunan tradisional, yang antara lain dapat dilihat dari orientasi, bentuk, dan bahan bangunan serta konsep religi yang melatarbelakanginya. Keunikan tersebut sekaligus menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Oleh karena itu Koentjaraningrat (1987) menjelaskan bahwa benda–benda hasil karya manusia merupakan wujud kebudayaan fisik, termasuk di dalamnya adalah permukiman dan bangunan tradisional.

Tipe Permukiman Tradisional Toraja 
Menurut Jovak, dkk. (1988), permukiman tradisional Toraja memiliki 3 tipe, yaitu permukiman yang berada di dataran tinggi (puncak bukit atau gunung), permukiman yang berada di area yang terisolasi atau  terpencil, dan permukiman yang berada di dataran rendah.
Permukiman yang berada di dataran tinggi adalah permukiman yang umum dijumpai di Toraja. Lokasi permukiman tradisional Toraja pada umumnya berada di tempat ketinggian (puncak bukit atau gunung) dan sangat sulit untuk dijangkau. Rumah-rumah dalam permukiman di bangun berdekatan karena area yang sangat terbatas. Tongkonan dan lumbung yang merupakan elemen utama yang tidak dapat dipisahkan dalam permukiman tradisional Toraja dibangun melintang bersusun dari utara ke selatan menyesuaikan dengan keadaan kontur tanah. Permukiman di kelilingi oleh pohon-pohon bambu yang sangat lebat, sehingga  tidak  terlihat dari luar. Pohon-pohon bambu ini secara tidak langsung berfungsi sebagai benteng alami bagi area permukiman. Selain karena faktor keamanan yaitu untuk melindungi diri dari serangan musuh atau hewan liar, masyarakat toraja percaya bahwa  semakin tinggi letak pembangunan tongkonan maka semakin tinggi status atau derajat mereka.  Permukiman tradisional Toraja di area yang  terisolasi atau terpencil, biasanya dibangun di atas tebing-tebing yang curam  dan terjal. Sangat sulit untuk menjangkau permukiman tersebut. Tebing-tebing yang curam dan terjal menjadi benteng alami untuk melindungi Permukiman dari serangan musuh dan hewan liar. Area permukiman dikelilingi oleh pagar kayu (biasanya ujung kayu sangat runcing). Jumlah tongkonan dan alang tidak banyak dan dibangun dengan jarak yang berdekatan. (Kiki Ekiawan dalam Valentina Syahmusir. Hal : 240)
Untuk permukiman tradisonal Buton analisis Simbol status  Kaomu dan Walaka Konfigurasi bentuk yaitu ruang  bamba, tanga dan  suo di lantai satu dan selalu terdapat ruang  pabate dan ruang  pa di lantai dua. Ketiga ruang tersebut merupakan simbol yang memvisualisasikan  bentuk tubuh manusia, bamba diibaratkan sebagai kaki,  tanga di ungkapkan sebagai badan dan suo diungkapkan sebagai kepala.  Secara vertikal rumah terdiri atas  kapeo (kolong) diungkap sebagai kaki, bamba, tanga dan Suo diungkap sebagai badan dan Pa (pabate, pamalaga dan tangkebala) merupakan bagian bahu dan tangan, kemudian pada  (atap) adalah  ungkapan dari kepala manusia. Secara horizontal menjelaskan bahwa ruang bamba adalah simbol dari laki-laki dan ruang tanga adalah simbol dari wanita. Ruang suo merupakan ungkapan dari simbol  suami istri. Ungkapan lain yang berkaitan dengan ungkapan manusia adalah  Bentuk lantai rumah di lantai satu  dengan perbedaan ketinggian lantai yang rata-rata terdiri atas  tiga tingkatan lantai. Simbol ini selain pembeda batas ruang secara fisik juga merupakan simbol dari nafas manusia ”naik-turun” yang mempunyai makna bahwa di dalam rumah buton ada dinamika kehidupan sebagaimana kehidupan penghuninya. Adanya batasan yang jelas antara pria dan wanita selalu ditemukan dalam konfigurasi ruang di  rumah  kaomu dan Walaka dan pemisahan ini merupakan simbolisasi dari nilai-nilai ajaran Islam. (Ishak Kadir, dalam Arsy Surahman. Hal :303).
Sistem Konstruksi Permukiman tradisoinal Sumatera Selatan yaitu rumah kayu sistem bongkar pasang berdasarkan pada konstruksi rumah kayu secara tradisional, mudah dibongkar dan dipasang serta tidak memakai paku sebagai alat sambungnya. Sistem tersebut agak berbeda dengan kontruksi rumah kayu produksi Tanjung Batu. Panjang kayu yang dipergunakan tidak lebih dari 4 meter, sehingga bila diperlukan panjang lebih dari 4 meter kayu harus disambung. Rumah kayu sistem bongkar pasang berpedoman pada sambungan kayu tradisional yang terdapat padatipe rumah Ulu tanpa pemakaian paku dan pada bagian lantai-tiang bawah berupa kantilever. Tipe sambungan kayu yang dipakai mempunyai kemiripan misalnya pada bagian kolom, balok, lantai dan dinding. Pemakaian skala 1 : 2 memberikan keterbatasan bagi sistem hubungan kayu. Beberapa detail sambungan yang dipakai dalam penelitian yang diadopsi dari rumah Ulu.
Bahan Bangunan  Penelitian ini mengunakan bahan bangunan dari kayu dan sebagian kecil memakai alat sambungan kayu dari besi. Kayu yang digunakan dari jenis Kulim (Scorodocarpus torneensis Becc), Merawan (Hopea dasyrrachis V.SI), dan Meranti Payo (Shorea palembanica Miq). Kulim digunakan untuk tiang utama yang terletak di sudut-sudut dan Meranti Payo untuk lantai dan dinding, sedangkan Merawan dipakai untuk daun pintu dan jendela.  Penggunaan skala 1 : 2 dalam penelitian ini belum dapat menggambarkan secara nyata jumlah (volume) penggunaan kayu. Volume kayu yang dipakai dapat dihitung secara tepat apabila telah dilakukan percobaan rumah kayu dengan skala 1 : 1 (full scale). Walaupun demikian, telah dapat diperkiraan kebutuhan kayu menjadi lebih sedikit  karena penggunaan rangka atap dengan sistem usuk (rafters) sebagai pengganti kuda-kuda.
 Alat dan Bahan Sambungan Kayu Konstruksi kayu walaupun secara sempurna diselesaikan melalui sambungan pen dan lubang, takik, tekan, tarik, tumpu serta kait tetap harus diperkuat dengan alat penyambung. Penelitian ini tidak mengunakan paku sebagai alat sambungan kayu. Sebagai penggantinya adalah sambungan kayu tradisional berupa pasak untuk pintu dan jendela serta sambungan lainnya berupa baut, mur dan pelat besi. Karena sifat dari rumah kayu ini adalah bongkar pasang, maka tidak digunakan bahan penyambung berupa perekat atau lem kayu. (Ari Siswanto dalam La Ode Rangga. N)

Rumah tradisional kudus bukan merupakan bangunan tunggal tetapi kesatuan dari beberapa bangunan yang berfungsi untuk tempat tinggal serta tempat melakukan aktifitas sehari-hari di rumah, termasuk berdagang atau tempat produksi dari industri rumah tangga. Pola tata bangunan terdiri dari bangunan utama atau dalem, jogosatru di depan serta pawon di samping. Halaman terletak ditengah tapak, diseberang halaman terdapat kamar mandi, serta sisir. Regol terletak di samping halaman.

B.    Aspek Kesehatan
Karakteristik pola tata ruang dalam permukiman tradisional berpengaruh dalam aspek kesehatan, pola tata ruang berhubungan dengan lingkungan fisik dari rumah tradisional tersebut, sehingga apabila dalam proses pengaturannya tidak efisien maka akan menyebabkan timbulnya masalah kesehatan. Diantaranya ialah timbulnya penyakit Tb paru jika ventilasi tidak tidak ada atau tidak sesuai dengan standar. Selain itu dari ke empat jurnal yang kami kaji bahwa seluruhnya merupakan permukiman dengan ciri rumah panggung, maka masalah yang dapat terjadi ialah terjadinya kecelakaan dalam rumah yang bisa disebabkan oleh pondasi yang tidak kuat dan bahan yang digunakan mudah rapuh.
Selain itu salah satu yang dapat mempengaruhi kesehatan dalam suatu pemukiman tradisional yaitu berhubungan dengan adanya elemen dalam permukiman  tradisional yaitu kandang. Tidak ada aturan khusus dalam penempatan kandang bagi kerbau (Bala) atau babi (Pangkung) dalam permukiman. Akan tetapi, kandang biasanya diletakkan pada posisi yang mudah terlihat. Hal ini bertujuan agar kandang  lebih mudah untuk diawasi.
Dapat kami identifikasi bahwa permukiman-permukiman tradisional seperti permukiman Toraja, Buton, Kudus, dan Sumatera selatan tak lepas dari yang namanya elemen Ternak yang dipelihara oleh orang-orang dalam permukiman tersebut, sebut saja ternak kerbau, babi, ayam, bebek dan lain sebagainya. Yang menjadi masalah kesehatan adalah apabila adanya kontak secara langsung antara manusia dan binatang ternak yang terindikasi terkena virus atau infeksi lainnya, atau kandang yang jarang dibersihkan sehingga dapat mengakibatkan terjangkitnya penyakit dari ternak kepada manusia, seperti Antrax, Flu burung, Flu babi dan lain lain sebagainya, apalagi jauhnya akses terhadap pelayanan kesehatan pada permukiman tradisional.

C. Solusi
Berdasarkan masalah kesehatan yang dapat terjadi pada permukiman tradisional, maka sosusi yang kami tawarkan ialah dalam pembuatan rumah berciri khas rumah panggung hal yang utama dalam pembuatannya ialah dengan memperhatikan bahan yang digunakan sebagai pondasi rumah, tentu dengan bahan yang berkualitas, sebab jika tidak demikian kecelakaan pada rumah dapat terjadi. Selain itu karena keberadaan permukiman tradsional Kudus yang berada pada lingkungan rawa-rawa sehingga sering terjadi banjir yang dapat menimbulkan beragam penyakit dan juga dapat membuat pondasi rumah jadi ambruk akibat pondasi yang tidak kuat.
Sedang untuk solusi terhadap timbulnya penyakit infeksi TB paru ialah dengan membuat konstrusi rumah dengan ventilasi yang baik yang sesuai dengan standar, agar cahaya matahari dan udara segar dapat masuk ke dalam rumah tanpa adanya dangguan sehingga kuman TB akan mati dengan adanya cahaya matahari dan sirkulasi udara dalam rumah dapat terjaga.
Untuk Solusi kami berdasarkan pemeliharaan binatang ternak dalam sekitar rumah hendaknya kebersihan kandang ternak selalu dijaga, agar jangan sampai terjadi infeksi penyakit akibat kotoran dari binatang tersebut. Selain itu kontak langsung dengan binatang yang terindikasi terinfeksi virus mematikan harus dihindari tentu dengan melihat ciri khas pada binatang yang kurang sehat. Sebaiknya petugas kesehatan dapat memberikan penyuluhan pada daerah dengan permukiman tradisional mengenai pemeliharaan binatang ternak, bagaimana cara indentifikasi hewan yang sakit dan bagaimana pengaturan kandang yang tidak terlalu dekat dengan rumah penduduk sehingga penduduk dengan permukiman tradisional dapat jauh dari masalah-masalah kesehatan yang dapat mengancam penduduk dengan permukiman tradisional.
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut :
·      Permukiman tradisional yang kami kaji seluruhnya merupakan permukiman berciri khas rumah panggung dengan kontstruksi yang berbeda-beda sesuai dengan adat istiadat, religi, dan kepercayaan-kepercayaan masyarakat terhadap sesuatu yang diaggap dapat memberikan keberkahan pada rumah mereka.
·      Elemen-elemen dalam permukiman tradisional, seperti tongkonan, lumbung (alang), kandang, kebun (pa’la’), rante, sawah, dan liang masih dapat dilihat dalam pemukiman Kaero ini. Elemen-elemen tersebut masih dapat menggambarkan kondisi dari pemukiman aslinya.   
·      Rumah tradisional Kudus pada dasarnya adalah Rumah Jawa dari Tipe Joglo. Tata ruang rumah Kudus sama dengan tata ruang rumah jawa, terutama pada rumah induk (dalem), demikian juga dengan konstruksi dan materialnya. Fariasinya lebih terletak pada kekayaan ornamentasi, kehalusan konstruksi pada elemen bangunannya.
·      Sistem konstruksi tradisional rumah kayu masih relevan dan mempunyai banyak kelebihan dibandingkanpembuatan rumah kayu yang menekankan padapenggunaan paku. Kelebihan tersebut diantaranyaadalah mudah dibongkar dan dipasang tanpa merusakstruktur dan tekstur kayu. 
·      Untuk permukiman tradisional Buton menunjukkan bahwa simbol-simbol yang diperlihatkan pada rumah  Kaomu dan  Walaka memiliki kesamaan dan perbedaannya hanya pada orientasi rumahnya saja yaitu rumah Kaomu menghadap ke Timur serta pada bentuk struktur atap yang bersusun. Sedangkan simbol-simbol lain yang ditunjukkan  pada rumah Kaomu dan Walaka relatif sama.
·      Pembuatan rumah dengan ciri khas panggung dapat memperhatikan konstruksi dan bahan bangunan dan juga terhadap aspek kesehatan, agar masalah kesehatan dapat ditanggulangi.

B.    Saran
Sebagai saran kami kepada pemerintah setempat agar kiranya dapat memberikan sumbangsi dalam hal perbaikan konstruksi rumah dengan kondisi yang kurang layak dan dapat menimbulkan masalah-masalah kesehatan, sehingga masyarakat dengan permukiman tradisional jauh dari masalah tersebut. Selain itu menurut kami bahwa pembuatan infrastruktur di bagian permukiman tradisional yang jauh dari tempat pelayanan kesehatan harus diwujudkan, sehingga masyarakat sadar akan pentingnya mendapatkan pelayanan kesehatan pada tenaga kesehatan yang kompeten dibanding dengan mendatangi dukun setempat.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Kiki Ekiawan. Valentina Syahmusir. Pola Permukiman Tradisional Toraja Studi Kasus Permukiman Tradisional Kaero. Pusat Kajian Indonesia Timur, Universitas Hasanuddin. Halaman 239-246.

2.      La Ode Rangga Nugraha. Ari Siswanto. 2004. Studi Pengembangan Konstruksi Rumah Kayu Sistem Bongkar Pasang Berdasarkan Konsep Struktur Kayu Tradisional Sumatera Selatan. Jurnal Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2.
3.      Rudi Firmansyah. Agung Budi Sardjono.  Konstruksi Rumah Tradisional Kudus.  Jurnal Arsitektur Fakultas teknik Universitas Diponegoro.
Arsy Surahman. Ishak Kadir. 2008. Simbol Dalam Pemaknaan Rumah  Tradisional Buton. Buletin Penelitian Universita










Previous
Next Post »
Thanks for your comment